Angkakuda - Ramai di media sosial unggahan video fenomena awan "pelangi" setelah terjadi gempa di perairan selatan Malang, Jawa Timur, Sabtu (10/4/2021). Awan itu tampak mengeluarkan sinar dan biasan warna merah dan oranye, seperti yang diunggah oleh Instagram @viral_berita. "Pemandangan langit yang setelah gempa 6,1 M mengguncang Malang Sabtu siang (10/4)." tulis admin dalam unggahan
Warganet berkomentar awan serupa tampak pasca gempa terjadi di wilayahnya, sebelumnya. "mirip gempa jogja dulu di parang teritis langit nya jg kayak gini," tulis akun @rudech. Berikut penjelasan ilmiah dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional
Penjelasan Lapan Peneliti dari Pusat Sains dan Antariksa Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) Erma Yulihastin menjelaskan fenomena tersebut. Fenomena awan bercahaya dan memiliki biasan warna itu disebut sebagai awan iridescent atau awan pelangi. "Awan berwarna Pelangi yang tampak setelah gempa di Malang (10/4) merupkan jenis awan yang langka (rare clouds)," kata Erma, Senin (12/4/2021). Menurutnya, awan ini dapat terbentuk pada sore hari menjelang matahari terbenam di wilayah dataran tinggi maupun pegunungan.
Awan pelangi ini terbentuk pada jenis awan-awan menengah dan tinggi, seperti awan cirrus, altocumulus, cirrocumulus, dan lenticular. "Jika melihat dari foto dan video penampakan awan di Malang, awan pelangi tersebut dibentuk dari awan altocumulus," ujar dia. Sementara cahaya pelangi yang tampak dari awan merupakan hasil difraksi sinar matahari oleh partikel-partikel es kecil yang terdapat di dalam awan. Baik awan cirrus, lenticular, cirrocumulus maupun altocumulus disebut Erma sebagai awan yang kaya dengan partikel es.
Tidak berkaitan dengan gempa Pertanyaan ini menjadi pertanyaan umum dari masyarakat setelah melihat fenomena awan pelangi paska gempa. Apakah mungkin aktivitas yang terjadi di bawah permukaan Bumi berpengaruh pada aktivitas atau kondisi atmosfer udara di ketinggian? Erma menegaskan bahwa awan pelangi tidak berkaitan dengan gempa yang terjadi sebelumnya. "Awan pelangi tidak memiliki keterkaitan dengan gempa," kata dia. Ia mengaku pernah menjumpai awan serupa di kota tinggalnya, tetapi saat tidak terjadi gempa. "Saya tinggal di Bandung juga pernah beberapa bulan lalu menyaksikan awan pelangi ini pada sore hari menjelang terbenam. (Tapi) Tidak ada (gempa bumi)," tutur dia. Kendati demikian, Erna menyebut riset yang diteliti Guangmeng dan Jing pada 2013 yang menjelaskan anomali awan sebelum dan sesudah gempa terjadi. Dalam riset itu, terdapat anomali awan yang ditunjukkan melalui kenaikan temperatur awan pada lokasi yang menjadi episenter gempa. Namun, hal ini perlu kajian yang lebih mendalam terkait ada tidaknya hubungan gempa dan fenomena awan tersebut. "Kajian seperti ini perlu diperdalam di masa mendatang dengan meneliti awan pada lokasi kejadian-kejadian gempa di wilayah Indonesia, karena jika secara konsisten ditemukan anomali awan yang sama, maka ini dapat saja dijadikan parameter untuk memprediksi gempa," papar Erma.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.