Margaretha Nainggolan' Diisukan Meninggal dalam Aksi 22 Mei. (Foto: dok.istimewa)
Jakarta - Di tengah rusuh 22 Mei silam, beragam hoax berseliweran. Walau tidak jelas sumbernya, tetap saja banyak yang percaya dan ikut menyebarkannya di media sosial.
Hoax Margaretha Nainggolan terbongkar setelah Febina Pricilia mengaku sebagai orang dalam foto tersebut. Ia belum meninggal dan tak terima fotonya disalahgunakan. Demikian juga hoax polisi China, ternyata adalah anggota Brimob asal Sumatera Utara. Salah satunya bernama Briptu Ib Benuh Habib
Penyebar hoax memang harus berhadapan dengan proses hukum, tapi hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat pun masih gemar share berita bohong yang belum jelas kredibilitasnya.
Menurut Dr Berry Juliandi, Msi, Sekretaris Jendral Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), ada sensasi-sensasi yang sengaja dicari oleh mereka yang membagikan berita hoax seperti ingin mendapatkan pujian.
"Orang itu kalau dapat informasi atau fakta baru, terlepas itu hoaks atau bukan dia tidak terlalu mikir itu apa. Dia ingin jadi orang yang pertama yang menyebar itu supaya terlihat pintar, menaikkan reputasi dia, dia yang tahu duluan," ujar Dr Berry kepada detikHealth beberapa waktu lalu.
Membagikan informasi yang belum tentu benar tersebut akan membangkitkan neurotransmitter di otak yang menghasilkan perasaan senang dan membuat ketagihan untuk melakukannya terus menerus.
"Oksitosin (terproduksi --red), hormon yang membuat kita senang. Jadi itu ada reward. Akibatnya apa? Akhirnya kita terus-terus lagi melakukan itu," ucapnya.
Oleh sebab itu, jika mendapat pesan yang belum tentu asli kebenarannya, Anis Fuad, Peneliti Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan untuk langsung di report.
"Orang-orang juga perlu diberi pembekalan tentang informasi hoax. Jadi kalau melihat hoax harus ramai-ramai di-report," pungkas Anis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar